oleh WAYAN SUNARTA
BILA Anda sempat melancong ke Bali dan melewati persawahan, anda akan melihat di atas petak-petak sawah yang kuning meriah dengan rumbai-rumbai plastik. Diantara rumbai-rumbai plastik yang dibentangkan dengan tali itu, anda juga akan melihat orang-orangan sawah yang terangguk-angguk ditiup angin. Suasana di persawahan itu mirip seni instalasi yang sepertinya digarap oleh seorang seniman.
Di Bali, orang-orangan sawah atau hantu sawah atau memedi sawah disebut lelakut. Fungsi utama lelakut adalah untuk menakut-nakuti burung-burung pipit yang suka memakan biji padi. Namun, secara mistik, lelakut yang telah diberi mantra dan sesaji khusus, juga berfungsi sebagai alat penolak bala, menjaga agar sawah dijauhi dari gangguan orang yang ingin berbuat tidak baik. Misalnya, menjauhi sawah dari gangguan leak (ilmu tenung) atau orang-orang yang iri pada si pemilik sawah.
“Lelakut yang dibuat dengan bahan pilihan dan telah diisi mantra dan sesaji biasanya sangat ampuh untuk menangkal ilmu hitam,” ujar Gde Kaler (68), seorang petani dari Tohpati, Kesiman, sebelah timur kota Denpasar.
Tetapi sekarang, lelakut yang berfungsi sebagai penolak bala sangat jarang bisa ditemui. Karena tidak banyak petani yang mengerti tata cara membuat lelakut bertuah, lengkap dengan mantra dan sesajinya. Kini, lelakut dibuat sekadarnya saja, agar sawah ramai dan burung-burung tidak berani mendekat.
Namun, seandainya lelakut bisa bicara, apa yang akan dikatakannya kepada para petani yang menaruhnya di tengah sawah? Mungkin dia akan berteriak kepanasan, atau menggigil kedinginan, atau pasrah saja menerima nasib sebagai lelakut yang sepanjang hari hanya bertugas menakut-nakuti burung.
Lelakut dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis bahan, mulai dari bahan sederhana yang gampang dicari sampai bahan yang susah dicari. Semuanya itu tergantung pada kualitas lelakut yang diinginkan petani. Sebab ada petani yang membuat lelakut hanya untuk sekedar menakut-nakuti burung. Namun ada juga petani membuat lelakut bertuah yang disertai sesaji dan ritual untuk “menjaga” sawah dari serangan kekuatan gaib yang bersifat negatif.
Biasanya, lelakut dibuat menggunakan bahan jerami kering yang dianyam dan dibentuk menjadi orang-orangan. Boneka jerami itu kemudian diberi baju bekas agar mirip orang sungguhan. Lelakut juga bisa dibuat dengan menggunakan batang pelepah kelapa yang sudah kering. Daun-daun kelapa kering yang masih melekat pada pelepah dianyam menjadi tangan yang terentang agar nampak seperti orang yang sedang mengusir burung.
Lelakut juga perlu dibuatkan kepala. Petani yang tidak mau repot biasanya membuat kepala lelakut dari jerami yang dibentuk bulat dan dihiasi dengan rambut dari ijuk. Dulu, kepala lelakut dibuat dari pongpongan (batok kelapa busuk) yang digambari kedok wajah. Gambar kedok wajah lelakut pun bermacam-macam. Ada yang menyerupai orang, raksasa, wajah-wajah lucu dengan gigi-gigi yang menonjol keluar. Itu semua tergantung pada kreasi dari petani sendiri.
Warna yang dipakai untuk menggambari kedok wajah biasanya warna-warna yang didapat dari alam, seperti: arang atau mangsi (bekas asap pelita) untuk warna hitam, kapur untuk warna putih, kapur dicampur kunyit untuk warna merah, dan kunyit untuk membuat warna kuning.
Untuk membuat kedok wajah lelakut yang menyeramkan, biasanya petani mewarnai batok kelapa kering itu dengan warna dasar putih yang dibuat dari campuran kapur, air dan sedikit lem kanji sebagai perekat warna. Warna dasar putih itu kemudian digambari mata, alis, hidung, mulut, gigi dengan warna hitam, merah atau kuning. Wajah lelakut akan nampak sangat gaib dan menyeramkan.
Kepala lelakut juga perlu diberi topi agar burung-burung menyangka lelakut itu benar-benar manusia. Kukusan (pengukus nasi) bekas atau caping (topi khas petani) yang tak terpakai sering digunakan untuk topi lelakut. Namun petani memang terkadang suka iseng.
Saya pernah melihat lelakut yang mengenakan topi korpri (korp pegawai negeri), baret tentara, atau topi polisi yang sudah tak terpakai. Entah dari mana petani petani itu mendapatkannya. Mungkin mungut di tempat sampah.
Lelakut juga perlu diberi baju agar benar-benar mirip orang. Baju yang dikenakan pada lelakut pun bermacam-macam sesuai dengan kreatifitas petani. Biasanya baju bekas yang sudah tidak bisa dipakai lagi. Baju untuk lelakut terkadang juga dipungut di teba (tegalan) orang atau di jalan yang menuju ke sawah. Mungkin ada orang yang membuang baju bekasnya di teba atau di selokan, yang kemudian dimanfaatkan oleh petani untuk baju lelakutnya.
Suatu kali saya pernah melihat lelakut yang diberi hiasan baju loreng tentara lengkap dengan helm dan senapan yang dibuat dari tripleks. Apa kira-kira yang dipikirkan oleh tentara bila kebetulan melihat lelakut itu? Mungkin dia akan tertawa, atau mungkin merasa tersindir. Tentara kok disamakan dengan lelakut yang hanya bertugas menakut-nakuti burung pipit. Apakah petani yang membuat lelakut itu memang ingin menyindir tentara?
“Baju itu sudah rusak, dulu cucu saya yang memberikannya. Daripada dibuang, saya gunakan saja untuk baju lelakut,” tutur Pan Surpa (60), petani yang memiliki lelakut itu, dengan polos.
Memang sangat menarik mengamati baju yang dikenakan oleh lelakut. Pada jaman Soeharto masih menjabat presiden, bila saat musim kampanye tiba, saya sering melihat lelakut berbaju kaos Golkar. Mungkin petani yang membuat lelakut itu pendukung atau simpatisan partai Golkar. Saat Megawati menggelar kongres PDI pada tahun 1998 di Bali, saya juga sempat melihat lelakut berkaos PDI Perjuangan dengan gambar Megawati yang warnanya sudah sangat kusam.
Selain itu, ada juga petani yang menghiasi lelakutnya dengan baju Korpri atau baju hansip. Semua baju yang dipakai oleh lelakut itu sudah rusak, yang jelas-jelas sudah tidak bisa dipakai lagi oleh petani. Kalau baju tersebut masih bisa dipakai, tentu petani yang lebih dulu memakainya. Kalau sudah rusak baru dihibahkan kepada lelakut buatannya.
Petani yang kreatif terkadang membuat lelakut dengan mengambil tokoh-tokoh film kartun di televisi sebagai model. Misalnya, lelakut diberi sayap superman atau batman dari kain atau plastik bekas yang bisa dimainkan angin. Mungkin petani itu menganggap, lelakut superman atau batman lebih ditakuti burung daripada lelakut dengan model pak tani.
Penolak Bala
Selain untuk menakut-nakuti burung, lelakut juga bisa dipakai alat untuk menolak bala, yaitu menangkal kekuatan gaib yang bersifat negatif. Lelakut untuk penolak bala ini, saat dipasang di sawah dibekali dengan sesaji dan mantra agar kekuatan magisnya lebih terasa.
Bahan lelakut yang bertuah ini pun merupakan bahan pilihan yang sangat susah dicari karena jarang ditemui, yaitu: papah nyuh nunggal (pelepah kelapa tunggal). Pelepah kelapa ini biasanya menggelantung sendiri di batang pohon kelapa, jauh dari pelepah yang lainnya, mungkin karena pelepah di sekitarnya sudah banyak berguguran. Papah nyuh nunggal diyakini mempunyai kekuatan magis yang dasyhat untuk penolak bala dan pengusir burung.
“Papah nyuh nunggal sangat berkhasiat dipakai bahan lelakut,” ujar Gde Kaler saat ditemui di rumahnya di Tohpati, Kesiman, Denpasar Timur.
Peranan hari dalam mencari bahan, membuat dan memasang lelakut juga sangat berpengaruh terhadap tuah atau kekuatan magis yang dimunculkannya. Bagi orang Bali, rahinan (hari penting) kajeng kliwon merupakan hari yang paling keramat dan mengandung aura magis yang sangat kuat. Orang Bali selalu mengidentikkan kajeng kliwon sebagai hari yang sangat bagus untuk belajar kebatinan, belajar ilmu leak, membuat atau “menghidupkan” jimat dengan kekuatan mantra, dan segala sesuatu yang berbau mistik.
Maka kalau ingin membuat lelakut yang bertuah, papah nyuh nunggal itu harus didapat atau dicari saat hari keramat kajeng kliwon. Gde Kaler pernah membuktikan tuah lelakut dari papah nyuh nunggal yang didapat dan dibuatnya saat kajeng kliwon itu.
“Sejak lelakut itu saya pasang di sawah, burung-burung memang tidak berani mendekat. Petani lain sampai heran karena sawah saya tidak pernah diganggu burung. Mereka menduga sawah saya ada “penghuni” gaibnya,” cerita Gde Kaler sambil tertawa mengenang kejadian konyol itu.
Untuk memunculkan daya magisnya, lelakut perlu “dihidupkan” dengan sesaji dan mantra. Setelah ditancapkan di sawah saat kajeng kliwon, lelakut disembur dengan kesuna (bawang putih) dan jangu (sejenis rumput untuk obat) yang sudah dikunyah sebanyak 3 kali, dan sesaji yang dihaturkan berupa: canang 2 buah dan jajan satuh.
Sesaji tersebut dibuat dan dihaturkan setiap 15 hari sekali, yaitu setiap kajeng kliwon, agar lelakut semakin bertuah. Lelakut yang telah “hidup” ini sangat ampuh dipakai menakut-nakuti burung. Mantra dan sesaji juga penting untuk menjaga agar sawah tidak diganggu maling, leak atau orang yang bermaksud tidak baik.
Apabila burung-burung telah berhasil diusir dengan lelakut, maka bersamaan dengan upacara menyimpan padi di lumbung, juga perlu menghaturkan sesaji ke hadapan Sang Hyang Sepuh dan Sang Hyang Pemunah Sakti yang diyakini sebagai dewa (kekuatan) penjaga sawah dan padi. Sesaji itu dihaturkan di tugu yang dibangun di tengah sawah, sebagai ungkapan rasa terima kasih petani karena padi terhindarkan dari hama burung.
Kontes Lelakut
Sekarang ini, tidak banyak petani yang bisa dan mampu membuat lelakut bertuah, apalagi mengucapkan mantra-mantra khusus untuk lelakut. “Orang-orang tua dulu memang suka memberi mantra pada lelakut agar lebih bertuah. Petani sekarang kalau membuat lelakut asal jadi saja,” ujar Pan Rawi (70), seorang petani dari Desa Sumerta, Denpasar.
Walikota Denpasar, Rai D.Mantra ikut menilai Kontes Lelakut |
Petani di bawah generasi Gde Kaler dan Pan Rawi, rata-rata memang tidak bisa lagi membuat lelakut dengan bagus. Untuk mengusir burung, mereka lebih suka menggunakan plastik bekas yang dibentuk menjadi rumbai-rumbai atau bendera kecil yang digantung di sepanjang petak sawah. Agar tidak terlalu repot, mereka juga sering membuat lelakut dengan menggunakan bahan sekedarnya saja, yang kebetulan ditemuinya di tengah jalan atau di pinggir persawahan. Misalnya sebatang kayu yang diberi topi dan baju bekas yang kedodoran.
Gde Kaler merasa bahwa tradisi membuat lelakut memang sudah mulai ditinggalkan oleh generasi petani di bawahnya. “Saya berani bertaruh, generasi di bawah saya tidak ada lagi yang bisa membuat lelakut dengan bagus. Mungkin mereka tidak mengerti bahan apa yang dipakai untuk membuat lelakut yang bertuah, atau mungkin mereka sudah lupa sama sekali,” ujar Gde Kaler sedikit kecewa.
Agaknya, perlu digelar kontes membuat lelakut, untuk membangkitkan kembali budaya membuat lelakut. Sebab bagaimanapun juga, lelakut telah menjadi seni tersendiri yang diciptakan para petani saat musim padi mulai bebuah. [JB]